Jumat, 30 Oktober 2009

TAWAJUH KEPADA KEMULIAAN RUBUBIYYAH DAN KEHINAAN ‘UBUDIYYAH

TAWAJUH KEPADA KEMULIAAN RUBUBIYYAH DAN KEHINAAN ‘UBUDIYYAH

Di antara adab kalbu dalam beribadah dan tugas batiniah seorang penempuh jalan akhirat adalah ber-tawajuh (memfokuskan diri) kepada mulianya Rububiyyah(Ketuhanan) dan kehinaan ’Ubudiyyah (kehambaan). Tawajuh seperti ini merupakan tahap yang penting bagi seorang pesuluk, sehingga kadar kekuatan suluk setiap orng dapat diukur dengan kekuatan tawajuhnya itu. Bahkan, ukuran kesempurnaan dan kekurangan manusia terletak pada perkara ini. Egoisme, keakuan, pengagungan dan kecintaan pada diri berbanding terbalik dengan kesempurnaan perikemanusiaan seseorang dan akan menjauhkannya dari maqam kedekatan dengan Rububiyyah. Sungguh, hijab yang dihasilkan dari keadaan mengagungkan dan menyembah diri ini sangatlah tebal dan gelap. Mengoyak hijab ini lebih sulit daripada mengoyak semua hijab lainnya. Bahkan, pengoyakkan semua hijab merupakan pengantar untuk mengoyak hijab ini, lantaran pengoyakkan hijab (egoisme) ini merupakan kunci induk untuk membuka alam ghaib dan alam kenyataan (syahadah) serta pintu utama untuk memasuki kesempurnaan rohaniah manusia. Selagi seorang hamba masih saja memandang pada dirinya, kesempurnaan dan keindahannya yang palsu, maka dia akan tetap terhijab dan terjauhkan dari Keindahan Mutlak dan Kesempurnaan Sejati Allah. Keluar dari penjara ini adalah syarat pertama untuk bersuluk menuju Allah. Bahkan, neraca kebenaran dan kebathilan suatu riyadhah (pengolahan rohaniah) terletak disini. Maka itu, langkah yang diayunkan pesuluk dengan sikap keakuan dan pengagungan diri dalam selubung egoisme dan cinta diri pastilah tidak akan berguna karena suluk yang demikian itu tidak akan menuju kepada Allah tetapi kembali kepada ego dan dirinya sendiri.

“Sumber segala berhala ada dalam dirimu sendiri.” (Jalaluddin Rumi)

Allah SWT berfirman:

“…Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh pahalanya akan tetap disisi Allah…” (QS. An-Nisa [4]: 100)

Hijrah secara formal berarti pergi dari rumah formal menuju Ka’bah atau tempat-tempat suci para kekasih (wali) Allah, sementara hijrah maknawi (substansial) berarti pergi dari rumah diri dan tempat tinggal dunia menuju Allah dan Rasul-Nya. Hijrah menuju Rasul dan para wali Allah adalah juga hijrah menuju Allah. Selagi seorang pesuluk masih cenderung pada dirinya dan belum beranjak dari keakuan dan egoismenya, maka dia tidak bisa disebut sebagai seorang musafir. Selagi ikatan keakuan masih dalam pandangan pesuluk, dinding-dinding kota ego dan tapal-batas cinta dirinya masih belum lepas dari pandangan jiwanya, maka dia secara jelas bukanlah seorang musafir atau pelaku hijrah yang sebenarnya.

Dalam kitab Mishbah asy-Syari’ah, Imam Ja’far ash-Shadiq as berkata:

“‘Ubudiyyah adalah mutiara dan intinya adalah Rububiyyah. Apa yang hilang dari ‘ubudiyyah akan ditemukan dalam Rububiyyah dan apa yang tersembunyi dari Rububiyyah akan ditemukan dalam ‘ubudiyyah.”

Siapapun yang melangkah dengan kaki ‘ubudiyyah dan menyematkan pada ubun-ubunnya lambang kehinaan ‘ubudiyyah pasti akan sampai kepada kemuliaan Rububiyyah. Jalan menuju hamparan hakikat Rububiyyah mesti melalui pengembaraan pada tingkat-tingkat ‘ubudiyyah. Apabila sikap keakuan dan egoisme dalam ‘ubudiyyah seseorang sudah terbasmi habis, maka dia akan menemukan dirinya berada dalam naungan penjagaan Rububiyyah. Setelah itu, hamba ini akan sampai pada suatu maqam di mana Dzat Yang Mahabenar akan menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya dan kakinya – sebagaimana tertuang dalam hadits yang shahih dan masyhur menurut mazhab Syiah dan Sunah.

Apabila seorang hamba meninggalkan seluruh campur-tangan dirinya, menyerahkan kekuasaan dirinya secara penuh kepada Allah, mengembalikan rumah dirinya pada Pemiliknya yang sejati dan sirna (fana’) dalam kemuliaan Rububiyyah, maka Pemilik Sejati rumah diri ini akan mengatur segala urusan dalam rumah tersebut. Dengan demikian, jadilah semua perilaku hamba itu selalu seiring dengan Perilaku Ilahi; matanya akan menjadi mata Ilahi dan dia akan melihat dengan al-Haqq; telinganya akan menjadi telinga Ilahi dan dia akan mendengar dengan benar. Dan setiap kali rububiyyah[1] egoistik meningkat, kemuliaan Rububiyyah (Ilahi) dalam dirinya akan menurun. Hal itu lantaran kedua hal ini saling berlawanan.

“Dunia dan akhirat itu bagaikan dua wanita yang dimadu.” (Ucapan Imam Ali bin Abi Thalib as)

Dengan demikian, sudah sewajarnya seorang pesuluk berupaya keras untuk senantiasa mematrikan sifat kehinaan ‘ubudiyyah dan kemuliaan Rububiyyah dalam sukmanya. Semakin kuat pandangan ini terpatri dalam sukma, semakin bertambah transenden ibadah seseorang dan semakin kuat roh ibadah memancar dalam dirinya. Selanjutnya, dengan bantuan Dzat Yang Mahabenar dan para wali-Nya yang sempurna, seorang hamba akan sampai kepada esensi ‘ubudiyyahdan memperoleh sepercik sinar rahasia ibadah yang sesungguhnya. Maqam Kemuliaan Rububiyyah yang merupakan inti dan maqam kehinaan ‘ubudiyyah yang merupakan kulitnya terlambangkan dengan jelas dalam seluruh ibadah ritual, terutama dalam shalat yang memiliki sifat yang mencakup dan menyeluruh. Kedudukan shalat di antara semua ibadah lainnya bagaikan kedudukan seorang Insân kâmil atau keddukan al-Ism al-A’zham (Nama Teragung Allah) – dan shalat memang adalah al-Ism al-A’zham. Qunut yang merupakan kegiatan sunnah dan sujud yang merupakan kegiatan wajib memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri (dalam konteks diatas).

Ketahuilah bahwa sikap ‘ubudiyyah yang mutlak merupakan tingkat kesempurnaan yang tertinggi dan maqam kemanusiaan yang teratas. Tidak seorang pun mendapatkan kedudukan ini kecuali makhluk Allah yang paling sempurna, yakni Baginda Muhammad SAW dan para wali-Nya juga yang sempurna. Nabi SAW menempati maqam ini secara mandiri (bi al-ishâlah), sementara para wali lain yang sempurna menempati maqam ini berkat bantuan Nabi SAW (bi ath-thaba’iyyah). Adapun segenap hamba selain mereka yang sudah bersimpuh dalam ‘ubudiyyah tetap akan memiliki cacat dan kekurangan. Mikraj yang benar-benar mutlak tidak akan dicapai melainkan dengan kaki ‘ubudiyyah semacam ini. Itulah sebabnya Allah Ta’ala berfirman:

Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya… (QS. al-Isra’ [17]: 1)

Kaki ‘ubudiyyah dan tarikan Rububiyyah yang mengantarkan makhluk suci itu menuju mikraj kedekatan dan perjumpaan dengan Allah.

Dalam tasyahud shalat yang merupakan kembalinya Nabi Saw dari fana’ mutlak yang beliau alami dalam sujudnya, beliau melakukan tawajuh pada ‘ubudiyyah sebelum ber-tawajuh kepda kerasulannya. Hal ini mungkin merupakan isyarat bahwa maqam kerasulan pun pada hakikatnya adalah inti dari sikap ‘ubudiyyah.

[1]Selain mempunyai arti Ketuhanan, Rububiyyah juga mempunyai arti pengelolaan dan pemeliharaan. Karena itu dalam bahasa Arab, Rabb berarti Tuhan Yang Maha Memelihara dan Mengelola, sehingga Rububiyyah yang merupakan kata sifat bisa juga secara metaforis diterapkan pada manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar